Beranda | Artikel
Mengambil Pelajaran Dari Perang Ahzab
Sabtu, 6 Juni 2015

Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait perang ahzab. Semoga dengan pembahasan ini kita semua bisa mengambil pelajaran dari perang ahzab.

Muqoddimah

Dari waktu ke waktu musibah demi musibah silih berganti menimpa umat islam. Belum selesai satu musibah, sudah datang kembali musibah yang lain. Makar dan ujian yang datang dari musuh musuh islam terus menerus mengalir menimpa umat islam. Belum ditambah dengan kaum munafikin yang menusuk dari dalam. Mereka semua membuat makar, berkoalisi, bersatu padu, mengerahkan segala daya upaya untuk menghancurkan umat islam. Sementara umat islam sendiri, sebagian masih tertidur pulas, hanyut dalam mimpi mimpinya, dan sebagian yang lain sudah terbangun, sadar dengan apa yang sedang terjadi, namun bingung dengan apa yang harus dilakukan.

Ya, umat islam dalam kondisi lemah. Bukan hanya lemah ukhrowi, namun juga lemah secara materi, tenaga, ekonomi, militer, politik, dan lainnya. Maka jadilah umat islam bulan bulanan musuh musuhnya. Dimana mana umat islam dihinakan, martabatnya direndahkan, berbagai macam tuduhan dan stempel negatif diberikan kepada umat islam.

Hal seperti ini tentu saja akan melahirkan keraguan dan pesimistis akan janji dan pertolongan Allah di hati sebagian kaum muslimin yang mental dan jiwanya tidak kokoh dengan iman. Sehingga perlu bagi kaum muslimin untuk kembali menelaah sejarah, bahwa kondisi yang terjadi saat ini bukanlah hal baru yang menimpa umat islam. Dalam beberapa periode sejarah kaum muslimin telah mengalami ujian dan goncangan yang sangat dahsyat. Namun meskipun begitu, kaum muslimin tetap menjadi pemenang. Dan salah satu episode sejarah tersebut adalah peristiwa perang ahzab.

Peperangan peperangan di Zaman Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Sepanjang sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah berlangsung banyak sekali peperangan. Baik peperangan yang beliau pimpin sendiri, atau yang tanpa keikutsertaan beliau. Yang jika kita memperhatikan peperangan peperangan yang terjadi, kita akan menyaksikan kemenangan yang silih berganti antara kaum Muslimin dan musuh-musuhnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Sufyan kepada Heraklius sebelum keislamannya, “Dia mengalahkan kami dalam satu peperangan dan kami mengalahkannya pada peperangan yang lain.”[1]

Peperangan besar dimulai dengan perang Badar[2]. Yang meskipun dengan jumlah dan persiapan yang jauh dibanding kaum Quraisy, kaum muslimin mendapatkan kemenangan. Kemudian dilanjutkan dengan perang Uhud[3], yang dalam perang ini 70 sahabat mendapat kesyahidan[4], serta kaum muslimin mendapatkan kerugian dengan meninggalnya tokoh tokoh besarnya[5].

Hingga kemudian sampai pada perang Ahzab, di mana kaum kafir Quraisy memutuskan akan melancarkan serangan pamungkas dan mengangkhiri serangkaian peperangan yang mereka lancarkan sebelumnya, untuk meraih kemenangan akhir.

Allah mengabadikan kisah perang ini dalam Al Qur’an. Bahkan salah satu nama surat dalam Al Qur’an diambil dari nama perang ini, dikarenakan merupakan pokok pembahasan dalam surat tersebut. Hal ini menunjukan urgensi dan banyaknya pelajaran yang bisa diambil dari kisah perang Ahzab.

Waktu dan sebab terjadinya perang Ahzab

Mayoritas ulama mengatakan bahwa perang Ahzab terjadi pada bulan Syawal tahun ke lima Hijriyah[6]. Adapun penyebab berlangsungnya peperangan ini adalah kedengkian Yahudi Bani Nadhir terhadap kaum Muslimin[7]. Pasca kekalahan kaum Muslimin dalam perang Uhud, yang diteruskan dengan pertempuran pertempuran dan manuver militer kecil kecilan selama lebih dari satu tahun, ketenangan dan kedamaian kembali normal. Hanya saja kaum Yahudi yang menerima pelecehan dan kehinaan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar, tidak mau terima begitu saja. Apalagi semakin bertambahnya hari membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, dan pamor kekuasaan mereka semakin baik. Hal demikian membuat kaum Yahudi semakin amarah.

Mereka pun kembali merancang konspirasi baru terhadap orang orang Muslim dengan menghimpun pasukan, sebagai persiapan untuk menyerang mereka secara totalitas, hingga tidak tersisa lagi satupun kaum Muslimin.

Bagitu juga dipihak lain kaum Quraisy merasa belum puas dengan apa yang menimpa kaum muslimin pada perang uhud. Mereka belum mampu untuk memusnahkan kaum muslimin secara totalitas. Yang dengan masih adanya kekuatan kaum muslimin di madinah, telah menghambat jalan perdagangan meraka ke Syam[8]. Belum lagi pasca perang uhud pengiriman pasukan kecil-kecilan dari kaum muslimin masih berlanjut. Yang mengancam keberlangsungan perdagangan mereka menuju Syam. Maka merekapun berkeinginan untuk melancarkan serangan kembali kepada kaum muslimin.

Dari pihak yahudi, sekitar dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi Bani Nadhir[9] mendatangi berbagai kabilah[10]. Orang orang Quraisy, Ghathafan, dan kabilah kabilah lain mereka ajak untuk menyerang kaum Muslimin secara bersamaan. Mereka mangatakan kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya agama kalian lebih baik dari agama Muhammad dan kalian lebih berhak atasnya….[11]. Mereka pun menyambut gembira ajakan tersebut. Maka secara serentak bergabunglah pasukan perang yang terdiri dari Quraisy, Kinanah, Ghathafan dan kabilah-kabilah lainnya, hingga terkumpul jumlah pasukan mencapai sepuluh ribu prajurit. Mereka berkumpul untuk satu tujuan, yaitu menyerang kaum Muslimin yang berada di Madinah.

Maka mulailah mereka semua bergerak menuju kota Madinah. Hingga beberapa hari mereka akhirnya sampai, berkumpul di sekitar madinah, dengan jumlah yang sangat banyak, sepuluh ribu pasukan perang. Yang jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita, anak anak, pemuda, dan anak anak, maka jumlah mereka masih lebih banyak[12].

Persiapan kaum Muslimin menghadapi peperangan

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar berita tentang rencana kaum Kufar yang telah berkumpul untuk menyerang kaum Muslimin, maka beliau segera berkumpul bersama para sahabatnya untuk bermusyawarah. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka sepakat melaksanakan usulan Salman Al Farisy Rodhiyallahu ‘anhu[13], yaitu untuk menggali parit. Maka mulailah kaum Muslimin bersungguh sungguh menggali parit. Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun ikut terjun ke lapangan menggali parit bersama para sahabatnya.

Baca Juga: Pelajaran dari Perang Badar

Beberapa kejadian penting dalam penggalian parit

Penggalian parit bukanlah pekerjaan yang ringan. Apalagi dalam cuaca yang sangat dingin ketika itu. Belum ditambah dengan keterbatasan makanan, hingga dikisahkan bahwa mereka bahkan tidak makan selama tiga hari. Namun begitulah iman, keteguhan iman mereka tidak menjadikan mereka putus asa. Bahkan mereka sangat bersemangat dalam menggali parit, ditambah keikutsertaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama mereka. Maka tidak membutuhkan waktu lama selesailah mereka menggali parit.

Ketika kaum Muslimin dalam pekerjaannya menggali parit, banyak terjadi peristiwa yang ajaib. Yang mana ini merupakan tanda kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diantaranya adalah apa yang terjadi pada Jabir bin Abdullah Rodhiyallahu ‘anhu. Dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dalam keadaan tersiksa karena rasa lapar yang sangat. Maka dia menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak satu sha’ tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah secara pelan pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tapi beliau justru berdiri dihadapan semua orang yang sedang menggali parit yang berjumlah seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak hingga semua kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adoanan tepung roti.

Ada yang lebih menakjubkan dari kisah di atas, yaitu apa yang dikisahkan oleh Al Barra Rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saat menggali parit, dibeberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau datang mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah…” Kemudian menghantam yang keras itu dengan sekali hantaman. Beliau bersabda, “Allah maha besar. Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah aku benar benar bisa melihat istana istananya yang bercat merah pada saat ini”. Lalu beliau menghantam untuk yang kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi, “Allah Maha Besar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat inipun aku bisa melihat istana Mada’in yang bercat putih”. Kemudian beliau menghantam untuk yang ketiga kalinya, dan bersabda, “Bismillah….”. Maka hancurlah tanah atau batu yang masih menyisa. Kemudian beliau beliau bersabda: “Allah Maha Besar, aku diberi kunci kunci Yaman. Demi Allah, dari tempatku ini aku bisa melihat pintu pintu gerbang Shan’a”.

Itulah diantara peristiwa menakjubkan yang terjadi ketika penggalian parit. Hal ini menunjukan kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga menambah keyakinan  dan harapan orang orang beriman kepada Allah ta’ala. Berbeda dengan orang orang yang berpenyakit di dalam hatinya, mereka justru mengolok ngolok Rasulullah Shallallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka mengatakan kepada yang lain, “lihatlah apa yang dikatakan oleh Muhammad, dia menjanjikan kepada kalian kunci-kunci Yaman, Istana Madain, dan pintu-pintu gerbang Shan’a, padahal saat ini, menghancurkan satu batu besar saja tidak bisa, sungguh ini adalah penipuan”. Inilah sikap orang Munafik sepanjang zaman terhadap janji Allah.

Bagaimana peperangan berlangsung?

Ketika orang orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah orang orang Mu’min dan menyerang Madinah, ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu mereka memutuskan untuk mengepung orang orang Muslim di Madinah. Padahal tatkala keluar dari rumah, mereka tidak siap untuk melakukan pengepungan. Karena mereka sama sekali tidak mengenal siasat perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada saat itu, dan mereka sama sekali tidak memperhitungkannya.

Akhirnya pasukan Ahzab mendirikan kemah di luar parit. Beberapa kali pasukan berkuda Ahzab berusaha menyeberang parit, namun usaha mereka selalu gagal setelah pasukan Muslimin menghalau mereka dengan hujan anak panah.

Di saat seperti itu, Yahudi bani Quraidhah yang tinggal di Madinah merobek isi perjanjian damai dengan Rasulullah. Tidak hanya itu, mereka juga bersiap-siap melakukan pengkhianatan dan membantu pasukan Ahzab untuk menghabisi kaum Muslimin. Akibatnya, umat Islam menghadapi musuh yang besar di luar dan musuh di dalam.

Akhir peperangan dan kekalahan kaum Musyrikin

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahakan seorang sahabatnya yang baru masuk Islam dari Ghothofan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud untuk membuat tipu muslihat diantara kaum kufar. Maka seketika itu juga dia mendatangi Bani Quroidhoh, yang menjadi teman karibnya semasa jahiliyah, dan mendatangi Ghothofan untuk memecah belah mereka.

Rencana ini pun berhasil. Nu’aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menurun drastis.

Sementara orang orang Muslim selalu berdoa kepada Allah, dan Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wasallam juga berdoa untuk kemalangan musuh:  “Ya Allah yang menurunkan Al Kitab, yang cepat hisab Nya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan goncangkanlah mereka”.

Allah mendengar doa Rosul Nya dan kaum Muslimin. Setelah muncul perpecahan di barisan pasukan Ahzab, dan mereka bisa diperdayai, Allah ta’ala mengirimkan pasukan berupa angin taufan kepada mereka sehingga kemah mereka porak poranda. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari Malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau, menyusupkan ketakutan di dalam hati mereka.

Al Qur’an berbicara tentang perang Khondak

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan ni’mat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya . Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al Ahzab: 9).

Imam As Sa’di Rohimahullah berkata, “Allah ta’ala telah menyebutkan nikmatnya kepada kaum Mu’minin, dan memerintahkan mereka untuk mensyukurinya, yaitu ketika datang kepada mereka para penduduk Makkah dan Hijaz dari atas mereka dan para penduduk Najd dari bawah mereka, mereka bersekongkol dalam menghabisi Rosulullah Shallallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat, yang itu terjadi pada perang Khandak”.

Kemudian disebutkan dalam ayat selanjutnya: “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (Qs. Al Ahzab: 10-11).

Dalam ayat ini Allah ta’ala menggambarkan ujian dihadapi kaum muslimin ketika itu. Bagaimana ketakutan yang menyelimuti madinah dan kesusahan yang menimpa pendudukanya, tidak ada seorangpun kecuali mereka merasakan ketakutan dan kegelisahan. Pasukan Makkah dan Hijaz datang dari atas mereka, dari bawah yaitu penduduk Najd, dan sekutu sekutu lainnya,  mereka berkumpul dalam tujuan yang sama; menyerang kaum Muslimin. Ditambah dengan kaum yahudi Madinah yang merobek perjanjian, juga pengepungan yang berjalan cukup lama.

Baca Juga: Mengambil Pelajaran Dari Perang Uhud

Sikap kaum Munafikin

Dalam situasi seperti inilah kemudian sikap penduduk madinah terbagi menjadi dua. Sebagian tetap berprasangka baik kepada Allah, dan tetap teguh dengan ajarannya, dan mereka adalah kaum mu’minin. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab: 33).

Dan sebagian lain adalah kaum munafikin yang mana Allah ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya): “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya” (QS. Al Ahzab: 12).

Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki dari kaum Anshor yang dipanggil Qusyair bin Mu’tab, dia mengatakan kepada para sahabat ketika Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjanjikan kemenangan dan penaklukan penaklukan atas impremium Yaman, Madain dan Romawi, “Apakah Muhammad menjanjikan kepada kita kunci kunci Yaman, Istana Mada’in dan istana Romawi?! Padahal tidak ada seorangpun dari kita yang sanggup memenuhi kebutuhannya kecuali dia akan terbunuh, demi Allah ini adalah penipuan”.

Berkata Syaikh As Sa’di Rahimahullah, “Inilah keadaan kaum Munafikin ketika datang ujian, tidak tetap keimanannya, mereka hanya melihat dari akalnya yang cendek, tidak melihat ke depan, kecuali hanya mengikuti prasangka dan pikiran mereka saja”[14]

Allah kembali menggambarkan sikap mereka dalam perang ahzab, “Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.” Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata : “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan bertangguh untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat” (Qs. Al Ahzab : 13-14).

Allah ta’ala juga berfirman tentang mereka (yang artinya), “Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik- balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Al Ahzab : 20).

Ayat ayat diatas menggambarkan keadaan kaum munafikin. Bagaimana kekhawatiran dalam jiwa mereka, dan kepengecutan serta tidak adanya keyakinan kepada Allah ta’la ketika datang ujian. Bahkan, selain berusaha untuk meminta izin kepada Rosulullah untuk pulang ke rumah mereka –dengan alasan rumah mereka kosong, terbuka untuk musuh- mereka juga berusaha menggembosi dan memprovokator kaum muslimin untuk mengikuti mereka. Hal ini tidak lain karena ketakutan mereka terhadap kematian.

Namun meskipun begitu, kaum muslimin tidak terhasut dengat apa yang dihembusakan kaum munafikin. Mereka tetap konsekuen dengan amalan mereka bersama Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka yakin bahwa kemenangan tetap berada di tangan kaum muslimin. Hingga datanglah waktu kemenangan, dengan Allah ta’ala mengirimkan bala tentaranya berupa angin yang memporak porandakan pasukan Ahzab.

Perang Ahzab telah merubah neraca kekuatan bangsa arab

Setelah perang Ahzab, neraca kekuatan bangsa arab pun berubah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memprediksikan bahwa Quraisy telah mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya pada perang ahzab, tak sebatang anak panahpun yang tersisa di tempat anak panahnya melainkan mereka telah membidikkannya, dan tak ada sebatang pedangpun yang mereka punya melainkan mereka telah menghunus dan menyabetkannya. Tak tersisa lagi kekuatan yang dapat mereka gunakan untuk melancarkan serangan baru di luar wilayah negerinya. Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sekarang kita yang akan menyerang mereka, dan mereka tidak akan menyerang kita, kita akan bergerak menyerbu mereka.”[15] Saat beliau hendak melakukan `umrah pun beliau bersabda, “Sesungguhnya peperangan telah menggerogoti kekuatan Quraisy dan melemahkan mereka”[16].

Dan setelah perang Ahzab berlalu kita melihat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak melakukan penyerangan terhadap Quraisy, tapi pergi ke Mekkah untuk ber`umrah bukan untuk berperang. Bahkan, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seorang, akan tetapi kami datang untuk ber`umrah.”

Penutup

Jika kita mau menelaah kembali apa yang terjadi pada peristiwa perang ahzab diatas, kita akan mendapati situasi yang mirip dengan apa yang dialami kaum muslimin pada saat ini. Kecuali memang pemerannya saja yang berbeda. Kalau dahulu kaum Muslimin dalam perang Ahzab dikepung oleh musuh-musuh mereka dari segala penjuru. Berbagai suku dan kabilah kaum Musrikin ditambah kaum Yahudi berkumpul bekerja sama untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, maka pada saat ini pun keadaannya tidak jauh berbeda. Orang orang Yahudi, Nashroni, sekuler, Atheis, Syi’ah, dan orang-orang kafir lainnya bersatu untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Mereka menyerang Islam dari segala sisi. Hingga, kalau bukan karena rahmat Allah, tentu agama Islam sudah musnah dari muka bumi ini.

Maka, mudah mudahan dengan kembali menalaah kisah perang ahzab, bisa kembali menumbuhkan harapan, serta menambah keyakinan kaum muslimin bahwa fajar kemenangan akan tetap menjadi milik umat islam. Dan justru dengan semakin tersudutkannya kaum muslimin, merupakan tanda dekatnya kemenangan, dan sungguh waktu subuh itu amatlah dekat.

Baca Juga: Islam Tersebar Dengan Pedang?

***

Catatan kaki

[1] Lihat dialog antara Abu Sufyan dan Heraklius selengkapnya dalam Sohihul Bukhori, Kitab Badaul Wahyu, hadits No. 7

[2] Lihat kisah perang badar dalam Rohiqul Makhtum, Shofiyurrahman Al Mubarokfuri (Muassasah Ar Risalah, Cet. 1; 2012 H) Hal. 196, Assirah An Nabawiyah As Shohihah, Dr, Akrom Dhiya Al ‘Umari (Maktabah Ubaikan, Cet.7; 2013) Hal. 399

[3] Lihat kisah perang Uhud dalam Rohiqul Makhtum, Hal. 239 dan Siroh Nabawiyah Sohihah, Hal. 425

[4] Rohiqul Makhtum, Hal. 276

[5] Diantara mereka ada Hamzah bin Abdul Muthollib Rodhiyallahu ‘Anhu, paman Rosululullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

[6] Lihat Tahdzib Al Bidayah Wan Nihayah, Hal. 115 dan Siroh Nabawiyah Sohihah hal. 468

[7] Lihat Rohiqul Makhtum, Hal. 292

[8] Lihat siroh nabawiyah sohihah hal 469

[9] Diantara mereka adalah Sallam bin Abil Huqoiq, Huyyay bin Akhtob, Kinanah bin Robi’ dll (Lihat Tahdzib Al Bidayah Wan Nihayah (2/115))

[10] Rohiqul Makhtum, hal. 296

[11] Tahdzib Al Bidayah Wan Nihayah, hal. 116

[12] Rohiqul Makhtum, hal 294

[13] Tahdzib Al Bidayah Wan Nihayah, hal. 116

[14] Taisirul Karimir Rahman, Hal. 775

[15] Dikeluarkan oleh Imam Bukhori (4109)

[16] Tahdzib Al Bidayah (2/153)

Penulis: Muhammad Singgih Pamungkas

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/25700-mengambil-pelajaran-dari-perang-ahzab-1.html